Mengapa
Mama Pergi?
Bel baru saja berdentang di Sekolah Dasar Global.
Saatnya anak-anak pulang.
Begitu guru membalas ucapan salam, maka anak-anak pun langsung berhamburan keluar kelas. Mereka segera
mencari ibu, bapak atau para penjemputnya masing-masing.
Demikian pula di kelas tiga,
kelasnya Aisha.
“Horeee!” seru anak-anak.
Mereka berebut keluar kelas.
Sehingga Bu Arlin harus mengingatkan anak-anak.
“Anak-anak yang baik,
tenang, ayo! Tenang!”
“Iya, Bu, kita tenang-tenang
saja kok,” sahut Bimo sambil tertawa.
Bimo sengaja berjalan
dilambat-lambatkan, kemudian digeal-geol alias digoyang.
Anak-anak tertawa geli
melihat kelakuannya.
“Bimooo! Dasar, bodooor!”
seru anak-anak, saling bersahutan, heboh.
“Lihat, sudah pelan kan,
Bu?” Bimo mengerdipkan sebelah matanya.
Bu Arlin menggeleng-gelengkan
kepala. Tapi tak urung bibirnya tersenyum.
Dari belakang Dude tiba-tiba
mendorong Bimo.
“Woooi! Cepat, Bimo.
Jalannya jangan megol-megol begitu.”
“Macam bebek saja!” ejek
Annie.
“Iya nih, menghalangi jalan.
Tahu!” sela Lusy, gemas.
Bimo sambil bergelayutan di
bahu-bahu Dude, bernyanyi-nyanyi tak jelas.
“Megal-megol,
megal-megoool…. Kayak bebek, wekkk, wekkkk!”
Di belakang anak-anak itu, tampak Aisha berjalan pelan.
Membawa tas gendong ia berjalan menunduk. Rambutnya yang ikal panjang, dikepang
dua. Diberi pita merah muda warna kesukaannya. Postur badannya lebih tinggi
dari anak-anak sebayanya. Orang menyebutnya bongsor.
Ia
sengaja menghindari anak-anak. Dari kejauhan ia memerhatikan tingkah laku
teman-temannya.
Lihatlah!
Di
parkiran, seorang ibu muda turun dari kendaraannya.
“Lila
sayaaang!” serunya memanggil-manggil seorang anak perempuan.
Lila
tertawa riang, berlari menghampiri ibunya. Sebentar saja ia telah menggelayuti
lengan ibu muda itu.
“Bu,
nanti kita ke Mal dulu, ya?” rengek Lila, terdengar manja sekali.
“Iya,
iya…. Memangnya mau beli apa sih, Sayang?”
“Iiih,
Ibu lupa ya? Kemarin Ibu sudah janji. Mau beli seri Barbie terbaru buat Lila.”
“Oh,
iya, ya! Maaf, Ibu lupa.”
Ibunya
yang cantik itu seketika membungkuk. Kemudian dikecupnya pipi-pipi Lila dengan
penuh sayang.
Di
pojokan lain, tampak Nina berseru riang begitu melihat sosok maminya.
“Mamiii!
Mamiii!”
“Pssst,
ada apa teriak-teriak begitu, Ayang?”
“Tadi
nilai matematika Nina sepuluh, Mi.”
“Wooow!
Hebatlah, ini namanya anak Mami!”
“Siapa
dulu dong Mami Nina?”
“Hehe….
Sini, Ayang, Mami cium sayang dulu,” pinta Mami Nina.
Ia
membungkuk, kemudian mencium pipi-pipi Nina. Pasti dengan rasa sayang dan
bangga sekali.
Anak-anak
sudah bersama para penjemput. Kebanyakan dijemput oleh ibunya masing-masing.
Hanya beberapa yang dijemput kakak atau suster.
“Non
Ais!” seru seseorang.
Pak
Arman, sopir keluarga Aisha, berjalan cepat menghampirinya.
“Non
Ais, mengapa di sini? Saya mencari Non Ais ke mana-mana,” ujarnya
terengah-engah. “Biasanya kan kita ketemu di depan kantor guru? Bagaimana kalau
ada orang jahat, terus menculik Non Ais?”
“Pssst,
Pak Arman jangan ngomong macam-macam,” desis Aisha, wajahnya jelas muram dan
sedih.
Pak
Arman tertegun memandangi anak perempuan cantik itu.
“Non
Ais, memang sedang apa di parkiran ini?”
“Tuuuh!”
Aisha menudingkan telunjuknya ke arah teman-temannya.
Pak
Arman melayangkan pandangannya ke sekitar mereka. Anak-anak sudah naik ke
kendaraan pribadi. Sebagian ada juga yang ikut mobil jemputan sekolah.
Ini
sekolah berstandar internasional. Anak-anak yang bersekolah di sini rata-rata
orang berada.
“Oh,
iya, saya mengerti sekarang,” gumam Pak Arman.
“Mengerti
apa?” Aisha melirik lelaki separo baya itu, ingin tahu.
“Kita
ngobrolnya sambil jalan, ayo!” ajak Pak Arman.
Pak
Arman selama ini selalu baik hati. Ia sering menjadi curahan keluh-kesahnya.
Aisha tak urung menurutinya. Pak Arman menuntun Aisha. Mereka menyeberang jalan yang membentang di depan
sekolah.
Pak
Arman lebih suka memarkir mobilnya di samping sebuah toko buku. Pemilik toko
buku adalah keponakannya. Pak Arman bisa saling bertukar kabar dengan Dikdik,
keponakannya.
“Ayo,
bilang, Pa Arman mengerti apa?” Aisha menagih janjinya, begitu mereka sudah
menaiki mobil.
“Iya,
pokoknya pahamlah. Non Ais merasa iri dengan teman-teman. Karena Non Ais tidak
dijemput lagi oleh Mama. Iya kan? Mengaku sajalah….”
Suara
Pak Arman terdengar riang. Tidak terkesan menyudutkan siapapun.
“Huuuh!
Sok tahu, ah!” tukas Aisha, langsung cemberut.
Pak Arman tenang saja
melajukan kendaraannya. Ia pikir, sudah saatnya menyadarkan anak perempuan ini
untuk menerima kenyataan.
“Mama Non Ais sudah
tenang di sisi Tuhan.”
Air bening mulai
menggenang di sudut-sudut mata Aisha.
“Percayalah, orang
sebaik ibumu tentu akan mendapat tempat di sisi Tuhan.”
Aisha terdiam di
samping Pak Arman.
“Non Ais harus
merelakan kepergiannya. Agar Mama Ais juga tenang di tempatnya sana….”
Air mata mulai
menetes di pipi-pipi Aisha.
“Pak Arman,” tukas
Aisha tersendat-sendat. “Mengapa Mama pergi?”
Sesungguhnya Pak
Arman, kakek seorang cucu itu, tergetar hatinya. Ia ikut merasakan kepedihan
hati anak majikannya. Aisha masih sangat membutuhkan keberadaan ibunya.
Namun, ia tidak boleh
membiarkan Aisha terus-menerus bersedih.
“Non Ais kan tahu,
Mama Non itu sakit parah.”
“Iya, Ais tahu. Ais
kasihan Mama kesakitan. Kalau habis diapakan namanya itu, Pak Arman?”
“Dikemoterapi, ya?”
“Nah! Papa bilang,
dibom penyakit kankernya ya, Pak Arman?”
“Betul. Mama Ais
terkena kanker di rahimnya.”
Aisha seketika
terdiam. Ia terkenang kembali bagaimana penderitaan ibunya. Setiap usai
dikemoterapi, Mama muntah-muntah hebat. Tak mau makan, rambutnya rontok semua.
Kulit Mama berubah menjadi kering dan agak kehitaman.
“Duh, Mama, Mama….
Kasihan sekali!” isaknya ditahan dalam dada.
Setahun lebih mamanya
harus bolak-balik berobat. Sehingga mereka memutuskan pindah dari Medan. Agar
mendapatkan perawatan terbaik dari rumah sakit termahal di Jakarta. Namun,
semua ikhtiar itu tidak ada hasilnya. Mama tetap meninggal juga.
“Apa betul sekarang Mama
sudah tenang di sisi Tuhan, Pak Arman?”
“Insya Allah, Mama
Non sudah tenang di surga-Nya.”
Aisha seketika
tersenyum. “Kalau begitu, Mama lebih baik pergi, ya Pak Arman?”
Pak
Arman mengangguk. “Apalagi jika kita
merelakan kepergiannya.”
“Mama akan lebih bahagia di sana, ya
Pak Arman?”
“Insya Allah.”
Aisha manggut-manggut. Terdengar ia
menarik napas panjang. Pak Arman mengerling, memerhatikannya. Kini, ada senyum
manis di bibir Aisha.
Semoga sejak kini, Aisha tidak akan
bertanya-tanya terus: mengapa Mama pergi?
0 komentar:
Posting Komentar